MAKALAH
PEMBELAJARAN
YANG BERPIJAK PADA
TEORI BELAJAR
KONSTRUKTIVISME
Disusun
untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Belajar dan Pembelajaran
Dosen
Pengampu : Mustaghfirin, M.Pd.
Disusun oleh:
Kelompok 7
Juni Sugito
Chaerul Huda
Fatkhul Amin
Umidah
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS PEKALONGAN
2015
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Teori belajar konstruktivisme mulai
berkembang pada abad ke-19. Teori tersebut merupakan suatu teori yang lebih
mementingkan proses dari pada hasil. Proses pembelajaran tidak hanya melibatkan
hubungan antara stimulus dan respon, tetapi lebih banyak melibatkan proses
berfikir. Menurut teori ini ilmu pengetahuan dibangun dalam diri seseorang
melalui proses interaksi yang berkesinambungan dengan lingkungan. Proses ini
tidak berjalan terpisah-pisah tetapi melalui proses yang berkesinambungan dan
menyeluruh. Tekanan utama teori konstruktivisme adalah lebih memberikan tempat
kepada siswa/subjek didik dalam proses pembelajaran dari kepada guru atau
instruktur. Teori ini berpandangan bahwa siswa yang berinteraksi dengan
berbagai objek dan peristiwa sehingga mereka memperoleh dan memahami pola-pola
penanganan terhadap objek dan peristiwa tersebut. Dengan demikian siswa
sesungguhnya mampu membangun konseptualisasi dan pemecahan masalah mereka
sendiri. Oleh karena itu kemandirian dan kemampuan berinisiatif dalam proses
pembelajaran sangat didorong untuk dikembangkan.
Melihat konsep dasar tersebut,
pembelajaran saat ini setidaknya menggeser paradigma dari pembelajaran yang
berdasar kacamata guru menjadi pembelajaran yang berdasarkan kacamata siswa.
Artinya, saat ini bukan bagaimana guru mengajar, tetapi bagaimana agar siswa
dapat belajar. Pengertian belajar, menurut konstruktivisme, adalah perubahan
proses mengonstruksi pengetahuan berdasarkan pengalaman nyata yang dialami
siswa sebagai hasil interaksi dengan lingkungan sekitarnya. Pengetahuan yang
mereka peroleh sebagai hasil interpretasi pengalaman yang disusun dalam
pikirannya. Secara psikologis, tugas dan wewenang guru adalah mengetahui
karakteristik siswa, memotivasi belajar, menyajikan bahan ajar, memilih metode
belajar, dan mengatur kelas. Caranya? Biarkan mereka belajar sebagai proses
mengonstruksi pengetahuan dan guru sebagai fasilitator dalam menerapkan kondisi
yang kolaboratif. Siswa belajar dalam kelompok dan siswa tidak hanya belajar
dari dirinya sendiri, tetapi belajar pula dari orang lain.
B. Rumusan
Masalah
1. Pengertian teori belajar konstruktivisme.
2. Ciri-ciri konstruktivisme.
3. Aplikasi dan implikasi dalam pembelajaran.
4. Kelebihan dan kelemahan dalam aplikasinya.
5. Perbedaan
antara pembelajaran tradisional dengan pembelajaran konstruktivisme.
6. Hakikat pembelajaran yang
berpijak pada teori belajar konstruktivisme
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Teori
Belajar Konstruktivisme.
Teori Konstruktivisme didefinisikan
sebagai pembelajaran yang bersifat generatif, yaitu tindakan mencipta sesuatu
makna dari apa yang dipelajari. Menurut Tran Vui Konstruktivisme adalah suatu
filsafat belajar yang dibangun atas anggapan bahwa dengan memfreksikan pengalaman-pengalaman
sendiri, sedangkan teori Konstruktivisme adalah sebuah teori yang memberikan
kebebasan terhadap manusia yang ingin belajar atau mencari kebutuhannya dengan
kemampuan untuk menemukan keinginan atau kebutuhannya tersebut denga bantuan fasilitasi
orang lain. Dari keterangan tersebut dapatlah ditarik kesimpulan bahwa teori
ini memberikan keaktifan terhadap manusia untuk belajar menemukan sendiri
kompetensi, pengetahuan atau teknologi, dan hal lain yang diperlukan guna
mengembangkan dirinya sendiri.
` Konstruktivisme
sebenarnya bukan merupakan gagasan yang baru, apa yang di lewati dalam
kehidupan kita selama ini merupakan himpunan dan pembinaan pengalaman demi
pengalaman. Ini menyebabkan seseorang mempunyai pengetahuan dan menjadi lebih dinamis.
Pendekatan konstruktivisme mempunyai beberapa konsep umum seperti:
a. Pelajar aktif membina
pengetahuan berasaskan pengalaman yang sudah ada.
b. Dalam
konteks pembelajaran, pelajar seharusnya membina sendiri pengetahuan mereka.
c. Pentingnya membina pengetahuan
secara aktif oleh pelajar sendiri melalui proses saling mempengaruhi antara
pembelajaran terdahulu dengan pembelajaran terbaru.
d. Unsur terpenting dalam teori ini
ialah seseorang membina pengetahuan dirinya
secara aktif dengan cara membandingkan informasi baru dengan
pemahamannya yang sudah ada.
e. Ketidakseimbangan merupakan
faktor motivasi pembelajaran yang utama. Faktor ini berlaku apabila seorang
pelajar menyadari gagasan-gagasannya tidak konsisten atau sesuai dengan
pengetahuan ilmiah.
f. Bahan pengajaran yang disediakan
perlu mempunyai keterkaitan dengan pengalaman pelajar untuk menarik minat
pelajar.
Pandangan konstruktivisme tentang
pendidikan sejalan dengan pandangan Ki Hadjar yang menekankan pentingnya siswa
menyadari alasan dan tujuan ia belajar. Baginya perlu dihindari pendidikan yang
hanya menghasilkan orang yang sekadar menurut dan melakukan perintah. Ki Hadjar
mengartikan mendidik sebagai “berdaya-upaya dengan sengaja untuk memajukan
hidup-tumbuhnya budi-pekerti (rasa-fikiran, rokh) dan badan anak dengan jalan
pengajaran, teladan dan pembiasaan...” Menurutnya, jangan ada perintah dan
paksaan dalam pendidikan. Pendidik adalah orang yang mengajar, memberi teladan
dan membiasakan anak didik untuk menjadi manusia mandiri dan berperan dalam
memajukan kehidupan masyarakatnya. Jika pun ada ganjaran dan hukuman, maka
“ganjaran dan hukuman itu harus datang sendiri sebagai hasil atau buahnya
segala pekerjaan dan keadaan.” Ini mengingatkan pada teori perkembangan dari
tokoh psikologi kognitif, Jean Piaget (1954), bahwa anak mengkonstruksi sendiri
pengetahuannya melalui pengalaman bertemu dengan objek-objek di lingkungan.
Merujuk Piaget, anak adalah pembelajar yang pada dirinya sudah memiliki
motivasi untuk mengetahui dan akan memahami sendiri konsekuensi dari
tindakan-tindakannya. Teori Piaget juga merupakan salah satu dasar dari
konstruktivisme. Ini menunjukkan adanya kesesuaian antara pemikiran Ki Hadjar
dan konstruktivisme.
B.
Ciri-ciri
Konstruktivisme.
a. Pengetahuan dibangun oleh
siswa sendiri.
b. Pengetahuan
tidak dapat dipindahkan dari guru ke murid, kecuali hanya dengan keaktifan
murid sendiri untuk menalar.
c. Murid
aktif megkontruksi secara terus menerus, sehingga selalu terjadi perubahan
konsep ilmiah
d. Guru
sekedar membantu menyediakan saran dan situasi agar proses konstruksi berjalan
lancar.
e. Struktur
pembalajaran seputar konsep utama pentingnya sebuah pertanyaan. Selain itu yang
paling penting adalah guru tidak boleh hanya semata-mata memberikan pengetahuan
kepada siswa tetapi siswa harus membangun pengetahuan didalam benaknya sendiri.
Seorang guru dapat membantu proses ini dengan cara-cara mengajar yang membuat
informasi menjadi sangat bermakna dan sangat relevan bagi siswa, dengan
memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan atau menerapkan sendiri
ide-ide dan dengan mengajak siswa agar menyadari dan menggunakan
strategi-strategi mereka sendiri untuk belajar. Guru dapat memberikan tangga
kepada siswa yang mana tangga itu nantinya dimaksudkan dapat membantu mereka mencapai
tingkat pemahaman yang lebih tinggi, tetapi harus diupayakan agar siswa itu
sendiri yang memanjatnya.
C.
Aplikasi dan
Implikasi dalam Pembelajaran.
Teori konstruktivisme membawa
implikasi dalam pembelajaran yang harus bersifat kolektif dan kelompok. Proses
sosial masing-masing siswa harus bisa diwujudkan. Asri Budiningsih dalam buku
Pembelajaran Moral menyatakan bahwa keberhasilan belajar sangat ditentukan oleh
peran sosial yang ada dalam diri siswa. Asri Budiningsih selanjutnya
menjelaskan bahwa ada dua jenis proses adaptasi yaitu adaptasi yang bersifat
autoplastis, yaitu proses penyesuaian diri dengan cara mengubah diri sesuai
dengan suasana lingkungan. Dan adaptasi aloplastis yaitu adaptasi dengan cara
mengubah situasi lingkungan sesuai dengan keinginan dirinya sendiri.
Berikut ini penerapan dan implikasi kontruktivisme dalam
pembelajaran:
a. Setiap
guru akan pernah mengalami bahwa suatu materi telah dibahas dengan
jelas-jelasnya namun masih ada sebagian siswa yang belum mengerti ataupun tidak
mengerti materi yang diajarkan sama sekali. Hal ini menunjukkan bahwa seorang
guru dapat mengajar suatu materi kepada sisiwa dengan baik, namun seluruh atau
sebagian siswanya tidak belajar sama sekali. Usaha keras seorang guru dalam
mengajar tidak harus diikuti dengan hasil yang baik pada siswanya. Karena,
hanya dengan usaha yangkeras para sisiwa sedirilah para siswa akan betul-betul
memahami suatu materi yang diajarkan.
b. Tugas
setiap guru dalam memfasilitasi siswanya, sehingga pengetahuan materi yang
dibangun atau dikonstruksi para siswa sendirisan bukan ditanamkan oleh guru.
Para siswa harus dapat secara aktif mengasimilasikan dan mengakomodasi
pengalaman baru kedalam kerangka kognitifnya
c. Untuk
mengajar dengan baik, guru harus memahami model-model mental yang digunakan
para siswa untuk mengenal dunia mereka dan penalaran yang dikembangkandan yang
dibuat para sisiwa untuk mendukung model-model itu.
d. Siswa
perlu mengkonstruksi pemahaman yang mereka sendiri untuk masing-masing konsep
materi sehingga guru dalam mengajar bukannya “menguliahi”, menerangkan atau
upaya-upaya sejenis untuk memindahkan pengetahuan pada siswa tetapi menciptakan
situasi bagi siswa yang membantu perkembangan mereka membuat
konstruksi-konstruksi mental yang diperlukan.
e. Kurikulum
dirancang sedemikian rupa sehingga terjadi situasi yang memungkinkan
pengetahuan dan keterampilan dapat dikonstruksi oleh peserta didik.
f. Latihan memecahkan masalah
seringkali dilakukan melalui belajar kelompok dengan menganalisis masalah dalam
kehidupan sehari-hari.
g. Peserta didik diharapkan selalu
aktif dan dapat menemukan cara belajar yang sesuai dengan dirinya. Guru hanya
sebagai fasilitator, mediator, dan teman yang membuat situasi kondusif untuk
terjadinya konstruksi pengetahuan pada diri peserta didik.
D.
Kelebihan dan
Kelemahan dalam Aplikasinya.
a.
Kelebihan
Faham
karena murid terlibat secara langsung dalam membina pengetahuan baru, mereka
akan lebih faham dan dapat
mengaplikasikannya dalam semua situasi. Selain itu murid terlibat secara
langsung dengan aktif, mereka akan ingat lebih lama semua konsep.
Kemahiran sosial diperoleh apabila berinteraksi dengan rekan dan
guru dalam membina pengetahuan baru. Adanya motivasi untuk siswa bahwa belajar
adalah tanggung jawab siswa itu sendiri. Mengembangkan kemampuan siswa untuk
mengejukan pertanyaan dan mencari sendiri pertanyaannya. Membantu siswa untuk
mengembangkan pengertian dan pemahaman konsep secara lengkap. Mengembangkan
kemampuan siswa untuk menjadi pemikir yang mandiri. Lebih menekankan pada
proses belajar bagaimana belajar itu.
b.
Kelemahan
Siswa mengkonstruksi pengetahuannya
sendiri, tidak jarang bahwa hasil konstruksi siswa tidak cocok dengan hasil
konstruksi sesuai dengan kaidah ilmu pengetahuan sehingga menyebabkan miskonsepsi.
Dan selain itu konstruktivisme menanamkan agar siswa membangun pengetahuannya
sendiri, hal ini pasti membutuhkan waktu yang lama dan setiap siswa memerlukan
penanganan yang berbeda-beda.
Meskipun guru hanya menjadi pemotivasi dan memediasi jalannya
proses belajar, tetapi guru disamping memiliki kompetensi dibidang itu harus
memiliki perilaku yang elegan dan arif sebagai spirit bagi anak sehingga
dibutuhkan pengajaran yang sesungguhnya mengapresiasi nilai-nilai kemanusiaan.
E.
Perbedaan
antara Pembelajaran Tradisional dengan Pembelajaran Konstruktivisme.
Pembelajaran
Tradisional
1. Penyajian
kurikulum menggunakan pendekatan induktif (disajikan dari bagian-bagian menuju
keseluruhan)
2. Pembelajaran
berjalan secara rutinitas, formalistik, dan kaku. Lebih didasarkan pada
kurikulum yang bersifat formalistik
3. Kegiatan
kurikuler lebih banyak berorientasi pada buku pegangan / teks yang dimiliki
guru / sekolah. Akibatnya pembelajaran tidak didasarkan atas materi atau tujuan
dalam kurikulum tetapi kepada urutan buku panduan.
4. Peserta
didik yang belajar lebih dipandang sebagai objek yang tidak memiliki
pengetahuan apa-apa (botol kosong). Asumsi ini akhirnya melahirkan pembelajaran
hanya sekedar menyampaikan materi kepada siswa. Aspek pemahaman mudah dinafikan
oleh guru.
5. Penilaian
atau tes hasil belajar dipandang sebagai bagian dari proses yang tidak
terpisahkan dari pembelajaran dan seringkali dilakukan pada akhir pelajaran
dengan cara testing.
Pembelajaran Konstruktivisme
1. Penyajian
kurikulum menggunakan pendekatan deduktif (disajikan mulai dari keseluruhan
menuju ke bagian-bagian)
2. Pembelajaran
didesain dalam suasana yang memberikan kebebasan siswa untuk mengekspresikan
ide atau gagasannya.
3. Kegiatan
kurikuler lebih banyak dikaitkan dengan realitas dalam kehidupan masyarakat.
Kegiatan kurikuler atau pembelajaran cenderung menggunakan model pembelajaran
kooperatif.
4.
Peserta didik dipahami sebagai individu yang memiliki potensi untuk
mengembangkan materi pelajaran.
5. Penilaian
atau tes hasil belajar dilakukan secara progresif dan melalui penilaian karya
siswa. Dalam konteks sekarang biasa disebut test portofoli.
F.
Hakikat
Pembelajaran Menurut Teori Belajar Konstruktivisme
Sebagaimana telah dikemukakan bahwa
menurut teori belajar konstruktivisme, pengertahuan tidak dapat dipindahkan
begitu saja dari pikiran guru ke pikiran siswa. Artinya, bahwa siswa harus
aktif secara mental membangun struktur pengetahuannya berdasarkan kematangan
kognitif yang dimilikinya. Dengan kata lain, siswa tidak diharapkan sebagai
botol-botol kecil yang siap diisi dengan berbagai ilmu pengetahuan sesuai
dengan kehendak guru.Sehubungan dengan hal di atas, Tasker (1992: 30)
mengemukakan tiga penekanan dalam teori belajar konstruktivisme sebagai
berikut. Pertama adalah peran aktif siswa dalam mengkonstruksi pengetahuan
secara bermakna. Kedua adalah pentingya membuat kaitan antara gagasan dalam
pengkonstruksian secara bermakna. Ketiga adalah mengaitkan antara gagasan
dengan informasi baru yang diterima.
Wheatley (1991: 12) mendukung
pendapat di atas dengan mengajukan dua prinsip utama dalam pembelajaran dengan
teori belajar konstrukltivisme. Pertama, pengetahuan tidak dapat diperoleh
secara pasif, tetapi secara aktif oleh struktur kognitif siswa. Kedua, fungsi
kognisi bersifat adaptif dan membantu pengorganisasian melalui pengalaman nyata
yang dimiliki anak.
Kedua pengertian di atas menekankan
bagaimana pentingnya keterlibatan anak secara aktif dalam proses pengaitan
sejumlah gagasan dan pengkonstruksian ilmu pengetahuan melalui lingkungannya.
Bahkan secara spesifik Hudoyo (1990: 4) mengatakan bahwa seseorang akan lebih
mudah mempelajari sesuatu bila belajar itu didasari kepada apa yang telah
diketahui orang lain. Oleh karena itu, untuk mempelajari suatu materi yang
baru, pengalaman belajar yang lalu dari seseorang akan mempengaruhi terjadinya
proses belajar tersebut.Selain penekanan dan tahap-tahap tertentu yang perlu
diperhatikan dalam teori belajar konstruktivisme, Hanbury (1996: 3)
mengemukakan sejumlah aspek dalam kaitannya dengan pembelajaran, yaitu
1. Siswa mengkonstruksi pengetahuan
dengan cara mengintegrasikan ide yang mereka miliki
2. Pembelajaran menjadi lebih bermakna karena siswa mengerti
3. Strategi siswa lebih bernilai, dan
4. Siswa
mempunyai kesempatan untuk berdiskusi dan saling bertukar pengalaman dan ilmu
pengetahuan dengan temannya.
Dalam upaya mengimplementasikan
teori belajar konstruktivisme, Tytler (1996: 20) mengajukan beberapa saran yang
berkaitan dengan rancangan pembelajaran, sebagai berikut:
1. Memberi
kesempatan kepada siswa untuk mengemukakan gagasannya dengan bahasa sendiri,
2. Memberi
kesempatan kepada siswa untuk berfikir tentang pengalamannya sehingga menjadi
lebih kreatif dan imajinatif,
3. Memberi kesempatan kepada siswa untuk mencoba gagasan baru,
4. Memberi pengalaman yang
berhubungan dengan gagasan yang telah dimiliki siswa,
5. Mendorong siswa untuk memikirkan perubahan gagasan mereka,
6. Menciptakan lingkungan belajar yang kondusif.
BAB
III
PENUTUP
A.
Simpulan
Dari beberapa pandangan di atas,
dapat disimpulkan bahwa Konstruktivisme merupakan ide bahwa para siswa
mengkonstruksi pengetahuannya melalui interaksi dengan obyek, fenomena,
pengalaman, dan lingkungannya. Pengetahuan siswa tidak dapat ditransfer dari
gurunya, tapi mereka harus menginterpretasikannya. Karena pengetahuan merupakan
proses yang berkembang secara kontinu. Suasana seperti konflik yang membuat
siswa dipaksa berpikir lebih mendalam dan situasi yang membuat para siswa
menjelaskan lebih rinci akan mengembangkan pengetahuan siswa itu sendiri. Dalam
proses pembelajaran, siswa dapat menambah, mengurangi, mengganti pengetahuan
yang lama menjadi pengetahuan yang baru yang lebih luas dan lebih berkembang. Karena
proses pembelajaran akan lebih bermakna jika dilakukan secara pribadi dan
sosial, maka dukungan lingkungan sangat diperlukan bagi para siswa seperti
adanya belajar kelompok, guru yang kreatif, fasilitas eksperimen yang tersedia,
dan kondisi keluarga dan masyarakat yang mendukung pemahaman dan pembentukan
sikap mereka. Guru bertugas sebagai mitra para siswa yang aktif bertanya untuk
merangsang pemikiran mereka, menciptakan persoalan, memberi waktu kepada siswa
untuk mengungkapkan berbagai gagasannya, namun tetap kritis, dan fleksibel.
Pembelajaran yang mengacu kepada
teori belajar konstruktivisme lebih menfokuskan pada kesuksesan siswa dalam
mengorganisasikan pengalaman mereka. Bukan kepatuhan siswa dalam refleksi atas
apa yang telah diperintahkan dan dilakukan oleh guru. Dengan kata lain, siswa
lebih diutamakan untuk mengkonstruksi sendiri pengetahuan mereka melalui
asimilasi dan akomodasi.
DAFTAR
PUSTAKA
Dalyono. 2009.
Psikologi pendidikan. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Sanjaya, W.
2007. Strategi Pembelajaran, Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta:
Kencana Prenada Media Group.
Sign up here with your email
ConversionConversion EmoticonEmoticon